INDIGO Bab 2: Jam Matahari

INDIGO
Bab 2: Jam Matahari

Pagi yang cerah, tapi tidak secerah hatiku saat ini. Setelah malam perkemahan kemarin Aku seperti tidak punya nyali untuk mengucapkan kata maaf pada Gea. Oh... cukup sudah, kemana semua kata-kata maaf yang  sudahku rangkai untuknya. Semua kata-kata itu menghilang begitu saja saat Aku melihat wajahnya, bahkan bibirku tak bisa mengucapkan kata maaf.
Lagi pula ini tidak sepenuhnya kesalahanku, ini juga salah kak Gilang. Haahh... enak jadi Kak Gilang, Dia bisa melarikan diri setelah malam itu karena Dia senior yang baru lulus tahun kemarin.
Sekarang Aku sedang di dalam kelas, tepatnya sedang duduk di kursiku yang berada di belakang Gea dan Citra, sedangkan di sampingku ada Alfin sedang asik dengan handphonenya entah apa yang sedang Dia lakukan, Aku tidak perduli.
"Berita panggilan... berita panggilan, kepada seluruh anggota PMR segera berkumpul di markas... sekian terima kasih"
Berita panggilan itu membuat seluruh kelasku tenang walau hanya sebentar.
Tapi, tunggu dulu apa tadi panggilan anggota PMR? Itu artinya....
"Rai... ayo berangkat"
Ajak Gea padaku. Aku pun hanya mengangukan kepalaku pelan dan mengikuti Gea dari belakang. Di luar kelas sudah ada Dafit dan Alfin yang sedang berjalan beriringan di depan, di belang mereka Citra dan Lusi juga beriringan. Sedangkan Aku bersama Gea, tahukah dirimu Gea, sekarang Aku perang batin hanya untuk meminta maaf. Adakah yang bisa membantuku, frustasi.

 Sampainya kami di markas yang sudah ramai oleh anggota PMR dan beberapa anggota baru. Dapat ku katakan suasana markas saat ini sangatlah bising, seperti pasar pagi. Tapi tidak lama karena Pembina PMR sudah menampakan dirinya di hadapan kami.
"Siang semua.." sapa pembina dengan wajah serius
"Siang pak.." jawab semua anggota kecuali Aku dan sahabatku.
"Saya mengumpulkan kalian semua disini karena ada beberapa masalah yang harus dibicarakan secara musyawarah.
semua anggota terlihat bertanya-tanya namun tak satupun dari mereka yang mau bertanya.
"Masalah yang harus di luruskan adalah pemilihan anggota untuk di kirim ke kemah persahabatan di SMA Jatipura selama tiga hari."
Perubahan mimik muka disetiap anggota sangat sulit dijelaskan. Ada yang sangat senang, ada yang biasa-biasa saja dan juga ada yang menatap bosan.
"Pak berap orang yang akan di pilih?" tanya seorang anggota yang duduk tak jauh dariku dan sahabatku.
"Lima orang putri dan lima orang putra, masing-masing kelompok harus ada anggota lama yang pergi." Jawab pembina sambil melirik ke arah beberapa anggota lama tak terkecuali aku dan sahabatku.
"Bagi yang tidak berminat boleh meninggalkan markas" lanjut pembina.
Dengan ucapan itu, Gea, Citra, Lusi, Dafit dan Alfin bangun dari duduknya. Akupun juga ikut bangun, bukan berarti aku ikut-ikutan tapi sungguh Aku memang tak berminat. Kami berjalan menuju pintu keluar dan....
"Khusus untuk kalian ber-enam tidak ada pengecualian" ucap pembina yang menghentikan langkah kami dan menatap lurus ke arah kami.
"Loh... kok gitu sih.. pak.. ngak adil" celetuk Citra dengan wajah sebalnya.
"Iyanih... pak Alex ngak adil" tambah Lusi yang ngak kalah sebalnya.
"Tadi kan pak Alex bilang, bagi yang tidak berminat boleh meninggalkan markas. Nah.. kami tidak berminat sama sekali tidak." tambah Gea menjelaskan.
"Iya.. saya tau, tapi.. untuk kalian istimewa. Mau tak mau kalian harus ikut karena kalian tau sendirikan suasana SMA Jatipura itu..." jelas pembina kami yang amat sangat baik itu, pak Alex.
"Ngak adil.. itu namanya pemaksaan.." protes Dafit.
"Cari orang lain aja deh pak.." usul Alfin
"Hemm... usul yang bagus, tapi siapa orang yang istimewa itu?" tanya pak Alex dan memandangi kami satu persatu.
Kulihat seisi markas kini sedang memandangi kami dengan pandangan mengharap di serta bisikan diantara mereka, entah apa yang mereka bicarakan.
"Ada pak." ucapku.
Semua mata tertuju padaku bahkan sahabat ku sendiri, seolah-olah bertanya siapa?
"Benarkah... siapa orangnya?" tanya pak Alex.
"Siapa Rai?.." ucap sahabatku serentak.
Aku menarik nafasku dan menghembuskannya pelan sebelum menjawab pertanyaan mereka, sepertinya mereka tidak berkedip dan terus memandangiku.
"Anak XII IPS2, namanya Maya, gadis pendiam itu hampir sama dengan Gea, tapi untuk membujuknya sangat sulit" jelasku pada mereka.
"Oh... kalau begitu kalian harus membujuknya, kalau kalian tidak bisa maka kalian harus ikut kemah"
"Tapi pak..."
"Tidak ada bantahan kerjakan sekarang!" ucap pak Alex tegas.

 "Huhh.... Rai kau kenal Dia dari mana?" tanya Dafit.
Saat ini kami sedang mencari siswi yang bernama Maya, entah dinan Dia sekarang. Saat kami ke kelasnya Dia tidak ada di sana.
"Aku kenal sama Dia waktu malam perkemahan kemarin, itupun dikenalkan dengan Kak Gilang."
"Oo... jadi Dia yang membantu kau malam itu" tebak Lusi
"Hn" gumangku merespon perkataan Lusi.
"Tapi.. Rai kami tidak tau siapa Dia dan seperti apa ciri-cirinya." Ucap Alfin.
"Oh.. Dia selalu menggerai rambut panjangnya, memakai bandana hitam dengan renda putih kecil. Tubuhnya tidak tinggi tidak pendek, tidak gemuk. Berwajah datar" ucapku sambil mengingat-ingat.
Kami terus berkeliling sekolah hanya untuk mencari siswi yang diketahui bernama Maya.
"Hai.. May"
Kami semua melihat kearah Gea yang menyapa seseorang yang kami cari.
"Gea kau kenal dengan Dia?" tanya Citra penasaran.
"Emm.. Dia sepupuku"
"APPAAA..! Pekik kami semua kaget dan membuat orang-orang di sekitar kami melihat kami heran.
"Jadi Dia... kenapa kau ngak bilang kalo orang yang kita cari itu sepupumu" kata Citra kesal.
"Kalian mencariku? ada apa?" tanya Maya yang mulai membuka suara.
"Em.. kita cari tempat untuk membahas ini gimana" usul Lusi
"Kita ke taman belakang aja" usul Alfin.
Gea menarik tangan Maya menuju taman belakang dan kami pun mengikutinya.
 Sepanjang perjalanan Aku terus memikirkan Gea dan Maya, mereka pantas saja mereka begitu mirip. Kami semua duduk di bawah pohon rindang, menghadap kolam yang berisikan ikan mas.
"Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan?" tanya Maya membuka percakapan.
"Kami ingin kau menggantikan kami diacara perkemahan persahabatan besok" jawabku to the point.
"Tidak mau" tolak Maya ketus.
"May.. kali ini aja ya..?" rayu Gea lembut.
"Tidak, lagi pula 30 derajat arah selatan membelakangi utara, tidak seimbang dengan 30 derajat barat laut. Bayangn gelap dan siang jauh melampaui batas." Kata Maya santai.
Ini bukan pertama kalinya  Aku mendengar  Dia berbicara seperti ini, membingungkan. Padahal maksud dari yang Dia katakan hanya menunjukan waktu dan keadaan. Ku lihat Dafit, Alfin, Citra dan Lusi hanya menatap bingung.
"30 derajat selatan yang membelakangi utara tidak akan pernah seimbang, 30 derajat selatan tiga langkah dari kau berdiri maka itu akan menjadi kunci" ucap Gea yang menambah kebingungan diantara kami.
"Gea, sebenarnya kalian lagi membicarakan apa?" Tanya Dafit yang sepertinya makin bingung.
"Menutur mu?" tanya Gea balik.
"Gea..." panggil Maya pelan, namun pandangan matanya tertuju pada sebuah kayu yang ditancapkan di tanah. Bisa bilang saat ini Dia sedang menekuk kedua lututnya dan duduk di atas rumput.
Gea juga ikut berlutut dan mengikuti pandangan Maya. Tak mau memambah kebingungan kami pun ikut berlutut dan berusaha mengerti dengan apa yang dikatakan dua gadis ini.
"Ini... jam matahari, untuk apa?" Celetuk Lusi spontan.
"Lihat pantulan bayangan ini 45 derajat ke arah Barat daya 90 derajat Timur laut" ucap Maya.
"eitsss... kalian dari tadi bahas apaan sih... kita kan lagi gak bahas jam matahari" protes Dafit.
"Diam!" Ucap Citra, Lusi, Alfin dengan  keras, hal itu membuat Dafit cemberut sebal. Sedangkan Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.
Sedangkan Gea dan Maya terus berbicara tentang arah mata angin dan bayangan.
Cukup lama hingga kami bosan dan sekaligus tak paham dengan yang mereka katakan, hingga sebuah keputusan terucap dari keduanya.
"Baiklah... Gea, aku menyerah. Aku akan pergi. Tapi... Kau dan sahabatmu harus membantuku dari jauh." Ucap Maya pasrah.
"Benarkah... Kau mau menggantikan kami?" tanya Alfin semangat
"Ya... tapi kalian harus membantuku dari jauh." kata Maya.
"Bagai mana caranya?" Tanyaku
"Dari handphone dan..." Maya menggantukan ucapannya hal itu membuat kami semua penasaran kecuali Gea.
"Dan jam matahari"
"Apaaa.."
"Kami tidak pandai membaca matahari" kata Citra syok.
"Tenang lah... ada Aku disini, akan Ku ajarkan caranya" kata Gea santai.

 Hari perkemahan persahabatan tiba. Saat ini Aku sedang berada di sekolah untuk membantu Maya dan anggota yang lain mempersiapkan perlengkapan kemah selama tiga hari. Aku tidak sendiri tentunya ditemani oleh sahabatku.
Sebelum Maya pergi Dia memberikan kami sebuah benda yang aneh, seperti kompas tapi bukan kompas, terserah apa nama benda ini yang jelas sekarang Aku kembali galau. Ya... sampai sekarang Aku tidak bisa mengucapkan kata maaf.
Jika terus seperti ini tidak akan ada hasilnya. Ku beranikan diriku saat ini dan...
"Gea... a-aku.. mau.."
"Mau apa Rai?" Kata Gea memotong ucapanku.
"Maafkan Aku"
"Hah.."
"Maaf atas permainan itu Gea." jelaslah singkat.
"Oohh.. sudahlah... lupakan saja, aku sudah melupakannya." Gea tersenyum manis kepadaku.
Akhirnya hatiku tenang. Walau pikiran ku masih kalut dengan masalah baru yaitu JAM MATAHARI.
                     ~Bersambung~

Namaku Raiyan. Seorang remaja yang tidak memiliki keistimewaan hanya sebuah kelebihan yang sama dengan sahabatku.
Kisah ku belum selesai.
Akan ku lanjutkan dilain waktu.

Comments