RINDU LANGKAHMU

aku butuh komentar kalian nih.


  Balutan hangat selimut serta empuknya kasur, membuat semakin nyamannya seseorang yang berada diatasnya padahal hari sudah pagi, namun sepertinya tak ada niatan untuk beranjak dari tempat tidur. Nampak dari balik selimut kepala yang bermahkota coklat karamel sebahu, berwajah cantik dengan kulit putih bersih. Pancaran sinar matahari yang menembus melalui celah jendela, memaksanya untuk membuka mata dan menunjukan betapa indahnya karya tuhan yang Dia dapaptkan, sepasang mata dengan iris coklat. Seperti tak menghiraukan mata itu kembali terpejam, hingga mendengar sebuah suara yang sangat familiar untuknya.

Tok..Tok..Tok..

"Jihann... apa kau sudah bangun?"

Panggilan sang Bunda, terpaksa Dia kembali membuka mata cantiknya.

"Iya.. Bunda.. Jihan udah bangun kok.. nanti jihan turun"

"Baiklah.. sebaiknya cepat sayang.. Abi udah mau berangkat"

Bunda gadis yang masih bermalas-malasan di dalam pergi meninggalkan pintu kamar putrinya.
Gadis yang diketahui bernama Jihan, dengan sangat terpaksa Dia bangun dan memulai ritual pagi nya, yaitu mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.

  Tak butuh waktu lama, kini Jihan sudah selesai bersiap,sekarang sedang menyantap sarapan paginya bersama kedua orang tuanya dan kakaknya.

"Jiha... sepulang sekolah nanti kamu ada kegiatan ngak?"

tanya kakak jihan ditengah sarapan mereka.

"Sepertinya...tidak ada. Emangnya ada apa kak?"

"Temenin kakak nyari kado untuk temen kakak ya... mau ya... pllisss...."

dengan muka yang memohon agar sang adik meng-Iyakna permintaannya.
Jihan yang melihat wajah makanya seperti itu hanya menghela nafas pelan dan mengangguk kepalanya pelan.

"Sungguh? yey... terima kasih.."

kata kakak Jihan sambil memeluknya.

"Kak.. Gina.. Aku ngak bisa ber...nafas" protes Jihan.

"Gina.. lepaskan adikmu dan makan sarapanmu!"
tegur Abi dari kedua kakak beradik ini.

"Hehe.... maaf Abi.." 

ucap Gina dan kembali melanjutkan sarapannya.
Suasana kembali hening hingga kepala keluarga kembali membuka suara.

"Bunda.. Abi pergi dulu..."

"Ya.. hati-hati Abi"

"Kalian ayo berangkat!"

"Hem.. kami pamit bunda.." pamit kedua kakak beradik itu.

"Hati-hati.."

Ketiga orang itu berjalan melewati pintu rumah dan masuk kedalam mobil yang sudah terparkir di depan teras rumah. Sebelum berangkat ke kantor, kepala keluarga ini terlebih dahulu mengantarkan kedua putrinya ke sekolah mereka. Internasional High School. Itulah nama sekolah kedua putri yang sedang duduk di bangku belakan. Mereka berdua memang satu sekolah, Jihan duduk di kelas XI-Sastra 1, sedangkan Gina duduk di kelas XII-Kimia 1, sekolah ini memang memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri yang berbeda dari sekolah menengah atas lainnya di kota mereka, terutama di bidang jurusan dan exskul yang dapat di pilih siswa dan siswi sesuai kemampuan mereka. Ini di terapakan agar memudahkan mereka ketika memasuki Universitas dan mempersingkat kuliah mereka serta mempercepat mendapatkan perkerjaan. Siswa yang masuk ke sekolah ini bukanlah siswa biasa, karena mereka harus memiliki IQ yang tinggi bisa di bilang seseorang yang jenius.

 Hanya butuh waktu 20 menit, untuk sampai ke sekolah. Jihan dan Gina pamit kepada Abi mereka dan melangkahkan kaki mereka untuk masuk kedalam perkarangn sekolah.
Di persimpangan koridor kedua kakak beradik ini berpisah.
Kini Jihan sedang menaiki tangga ke lantai dua untuk dapat samapai ke kelasnya. Keadaan kelasnya tak bisa di bilang sunyi karena sudah ada beberapa orang temannya yang sudah hadir termasuk sahabatnya yaitu Ririn.

"Pagi Ririn.." sapa Jihan.

"Pagi.. Ji- loh kok rambut kamu pendek?"

Kata Ririn yang terkejut melihat sahabatnya berpenanpilan baru.

"Kenapa? jelek ya?" Kata Jihan yang pura-pura sedih.

"Bukan begitu, hanya saja kau jadi terlihat lebih menggemaskan dengan kedua pipi cubymu ini.."

kata Ririn sambil mencubit gemas kedua pipi sahabatnya.

"Ririn.. sakit tau!"

protesnya sambil berusaha melepaskan tangan Ririn di kedua pipinya. Alhasil sekarang kedua pipinya merah, dan memasang wajah cemberut tanda tak suka dengan perlakuan sahabatnya ini.

"Hehe..kalau kau terus berexpresi seperti itu maka akan ku gigit kedua pipimu"

Mendengar perkataan Ririn membuat Jihan semakin cemberut sebal.

"hahaha..."

Suara tawa Ririn membuat Jihan semakin sebal padanya.

"Woy... ada kabar buruk... hari ini mis melly ngak hadir!" teriak seorang teman laki-laki Jihan dari pintu.

"Horreeee....!"

teriak seluruh siswi kecuali Jihan

"Yahhhh....."

seluruh siswa mengeluh
Hanya suara itu yang merespon kabar yang di bawa oleh herry, namun...

"Ekhemmm...."

Suara teguran yang terdengar begitu menusuk, membuat seluruh kelas diam seketika dan.....

"Horreeeee....!"

teriak seluruh siswa.

"yahhh....."

seluruh siswi mengeluh terkecuali Jihan.

Pandangan mata Mis Melly yang tak lain adalah wali kelas mereka, membuat seluruh anak muridnya berdidik ngeri.
Mis Melly berjalan memasuki kelas hingga sampai ke mejannya.

"Jihan, bawa buku keuangan ke depan sekarang!"pemerintah Mis Melly tegas.

Dengan cepat Jihan menyerahkan buku keuangan kelas kepada wali kelasnya.

"Tetap di tempat!"

Ucap Mis Melly, saat Jihan ingin kembali ke tempat duduknya. Dan alhasil Jihan kini masih berada di samping wali kelasnya.

"FADRUD RADJA 15.000, HERRY RIANDI 25.000, AGUNG 25.000, JERI JIAATI 35.000, APRIL 30.000 dan GUSTI 20.000. Maju kedepan sekarang dan LUNASKAN!" ucap Mis Melly tegas.

Tampa banyak komentar lagi, siswa yang di sebutkan namanya oleh Mis Melly, langsung maju dan menyodorkan uang 50.000 masing-masing dari mereka kepada Jihan.
Jihanpun menerima uang tersebut dan memberikan kembalian kepada mereka.
Setelah beres Jihanpun kembali ke tempat duduknya begitu juga dengan ke-enam siswa itu.

..
..
..
..

  Pelajaran hari ini berlangsung dengan sangat menegangkan, karena dari pagi para murid XI-Sastra 1 dihadapkan dengan wali kelas yang marah-marah, hanya karena Kas kelas ada yang dengan sengaja menunggak, hingga menumpuk, membuat Bendahara kelas menjadi pusing.
Bel pertanda pulang, menjadi nada terindah untuk seluruh murid IHS, dengan langkah seribu, mereka semua meninggalkan area sekolah dan kembali ke rumah masing-masing atau ke asrama yang mereka tempati. Tidak untuk murid yang memiliki kegiatan di luar jam sekolah, dengan berbesar hati mereka harus tetap berada di sekolah untuk mengikuti exskul masing-masing.

 Sesuai janjinya dengan sang kakak, Jihan sekarang berada di pusat perbelanjaan yang ada di kota mereka untuk mencari hadiah teman kakaknya

"Kak... teman kakak yang ingin kakak kasi kado siapa?"

tanya Jihan yang memulai pembicaraan, karena sedari tadi mereka hanya diam.

"Reka, besok Dia ultah. Menurut kamu kado yang cocok untuk Dia apa? Kakak bingung mau ngasih apa, karena Dia kan.. tomboy."

Jawab Gina sambil melihat ke kiri dan kanannya.

"Emmm... coba kita lihat di toko sport itu, mana tau ada yang cocok untuk kak Reka."

"Ayo...."

 Setelah memilih dan menimbang hadiah yang pas, jatuhlah keputusan kepada sepasang sepatu sport berwarna putih dengan sedikit pemanis berwarna merah marun, yang membuat sepatu itu menjadi manis. keduanya bergegas pulang kerumah untuk mengistirahatkan diri.
Sampai di rumah, Jihan langsung masuk kedalam kamarnya yang berada di lantai dua. Entah mengapa Ia merasa tubuhnya seperti habis di remukan, padahal Ia tidak melakukan perkerjaan yang berat. Jihan memutuskan untuk mandi dan berharap Ia kembali segar, namun sebelum Jihan masuk kedalam pintu kamar mandi, Ia merasa kini kepalanya menjadi berat dan...

Brrrukk...

Jihan tidak sadarkan diri, di kamarnya.

..
..
..

  Tidak terasa hari sudah menjelang sore, sedari tadi Gina tidak melihat adik ke sayangnya setelah menemaninya mencari kado siang tadi. Ia memutuskan untuk pergi ke kamar adiknya, karena sedari tadi perasaanya tak enak.

Tok...Tok...Tok...

"Jiha... apa kau ada di dalam?"

teriak Gina agak keras, namun tidak ada jawaban dari si pemilik kamar. Membuat Gina semakin khawatir.

"Jiha...." panggilan Gina lagi. Mengharap jawaban dari Jihan.

Perasaan Gina semakin kalut, perlahan Gina membuka kamarJihan pelan, dan masuk kedalam kamar sang adik, tidak biasanya jendela kamar sang adik terbuka, padahal matahari sudah hampir kembali keperpaduan.
Gina melihat ke seluruh kamar adiknya dan....

"JIHANNNN!!..."

teriak Gina saat melihat sang adik yang tidak sadarkan di lantai kamar. Tampa banyak berfikir, Gina langsung menghampiri Jihan. Semakin khawatir Gina saat melihat darah yang hampir mengering keluar dari kedua lubang hidung mancung adiknya.

"Jiha.... bangun...jiha.."

Bingun harus berbuat apa, karena orang tuanya tidak ada di rumah dan keputusan yang benar adalah menelfon ambulan.

30 menit sudah Gina mondar mandir di depan ruang ICU, menanti sanga adik yang tengah di tangani Dokter, Gina semakin cemas karena perkataan Dokter, bahwa Jihan harus di pindahkan dari ruang UGD ke ICU, dan selama 10 menit Ia berusaha menghubungi kedua orang tuanya, namun tak ada jawaban dari Abi ataupun Bundanya.

Krriiett....

Suara pintu yang terbuka terdengar nyaring karena lorong ruang ICU sangat sepi.

"Dokter, bagaimana keadaan adik saya?"

"Keadaanya sangat menghawatirkan, Dia membutuhkan Transfusi darah golongan AB+, bersyukur rumah sakit ini masih mempunyai stoknya."

Jelas Dokter, mengurangi kehawatiran Gina.

"Tapi... saya memprediksi bahwa adik kamu terkena kanker..

"Apaa?..." betapa terkejutnya Gina mendengar perkataan dari dokter yang ada di hadapannya bahkan belum sempat Dokter itu menyelesaikan perkataannya.

"Tenang dulu..."

Dokter itu berusaha menenangkan remaja di hadapannya.

"Itu baru prediksi saya, karena dari keadaan adik kamu saat ini memungkinkan Dia terkena kanker, saya akan melakukan beberapa tes bersama dengan rekan saya yang ahli dalam penyakit ini. Jadi sebelum itu pasti ada baiknya kamu berdo'a agar semua yang saya katakan tadi salah. Mengerti?"

Jelas Dokter itu lagi, sedangkan Gina hanya mengagungkan kepalanya pelan.

"Dokter boleh saya masuk?

"Silahkan... "

Ucap Dokter, Gina langsung masuk ke dalam ruang ICU, dan Dokter itupun pergi.
Gina melihat adiknya terbaring lemas, wajahnya bahkan sangat pucat, dengan selang infus dan darah yang menembus kulit tangan adiknya. Gina tak mampu membendung air matanya, dengan mudah air matanya membasahi pipi dan Ia berusaha agar suara tangisannya tidak pecah.

Drreeeerttttt.... drrrreett... dreeettt..

Getaran handphone Gina memaksanya untuk mengalihkan pandangannya. Dengan sigap Ia menghapus air matanya dan menggeser icon berwarna hijau di layar handphonenya.

"Iya.. Bunda"

Ucap Gina setelah berusaha menghilangkan tangisannya, walau suaranya masih bergetar, pertanda Ia berusaha menahan tangis.

"Gina.. ada apa nak? tidak biasanya kamu menelfon Bunda dan Abi sebanyak itu? Sekarang kamu dan Jihan dimana? Kenapa meninggalkan rumah dengan pintu tidak terkunci?"

Sederet pertanyaan terlontarkan dari sang Bunda, membuat Gina kembali menangis.

"Hiihkss...Bunda tadi Jihan pingsan... hiihkss.. dan sekarang Gina sedang di rumah sakit kota ruang ICU.. hiihkss.. cepat kesini Bunda... hiihkss..."

Klik..

Gina menjawab pertanyaan Bundanya sambil menangis dan tampa memperdulikan tanggapan dari bundanya, Gina memutuskan mengakhiri pembinaan secara sepihak.

..
..

  Di rumah, dengan kalang kabut, Bunda dari dua orang putri ini langsung menyeret suaminya untuk segera berangkat menuju rumah sakit. Sang suami yang tak kalah khawatirnya setelah mendengar penjelasan dari istrinya tentang keadaan putri bungsunya tersebut.
Sampai di rumah sakit mereka langsung berlari kecil menuju ruang ICU.

"Gina.."

"Bunda.. Abi.."

Gina langsung memeluk kedua orang tuanya.

"Gina.. apa yang di katakan Dokter tentang keadaan Jihan?"

Tanya sang kepala keluarga, orang yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya pelan.

Tok..Tok..Tok..

"Permisi.. apa kedua orang pasien sudah datang?"

Tanya seorang suster yang masuk.

"Ya.. kami orang tuanya, ada apa sus?"

"Bapak dan Ibu.. di minta untuk datang ke ruangan Dokter"

Ucap suster itu sopan.

"Baiklah.. Gina.. kamu di sini saja ya."

Gina mengangguk dan kedua orang tuanya pergi keruangan Dokter di antar oleh suster yang datang tadi.

"
"
"

"Apa?.. tidak Dok! Pasti ada yang salah..tidak mungkin"

Bunda dari dua orang putri yang salah satunya sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri, begitu terpukul mendengar penuturan dari sang Dokter tentang keadaan putri bungsunya.

"Maaf sebelumnya, tapi putri anda enam bulan lalu datang untuk melakukan Cek-Up dan hasilnya sama, hanya saja pada saat itu kankernya masih stadium satu."

Dokter menjelaskan kepada kedua orang tua ini.

"Tapi Dok, putri saya tidak pernah mengeluh apapun pada kami"

Abi dari dua putri, itu mencoba menepis apa yang Ia dengar.

"Kalau masalah itu, mungkin saja putri ada sengaja menyembunyikannya dari anda, putri anda sekara kondisinya sudah stabil, saya akan menyuruh suster untuk memindahkannya ke ruang rawat inap."

"Baiklah.. terima kasih Dokter, kami permisi"

Abi dan Bunda dua orang putri, merasakan sebuah hantaman keras yang menerpa hati, mencoba tegar menerima kenyataan yang tidak sanggup di terima oleh orang tua manapun di muka bumi ini. Kenyataan suatu saat nanti putri bungsu yang ceria, selalu tersenyum dan enerjik, akan meninggalkan mereka terlebih dahulu.
Air mata tak mampu terbendung, suara siakan sang Bunda menambah kepahitan akan kenyataan.

  Setelah mengurus administrasi rumah sakit dan Jihan sudah di pindahkan ke ruang VIV, Abi menyusul istri dan putri sulungnya di ruang rawat.
Baru beberapa langkah Ia memasuki ruang rawat putri bungsunya, Ia sudah dapat melihat dengan jelas wajah putri bungsunya yang tengah tertidur dengan wajah pucat pasi.

Sebuah gerakan kecil terlihat dari tangan putri bungsunya, menandakan bahawa putrinya akan segera sadar.
Perlahan mangun pasti sepasang mata indah itu mulai terbuka dan menunjukan warna indahnya walau tidak secercah biasanya.

"Aku dimana?.."

"Di rumah sakit"

Jawah  Gina dingin, entah mengapa perasaan marah dan kesal karena adiknya menyembunyikan sakitnya dari Ia dan orang tuanya.

"Aa.. aku mau pulang.."

"Tidak, sebelum Dokter mengizinkan, kamu ngak boleh pulang."

Ucap Gina tegas sambil menatap adiknya tajam.

"Tapi.. kak.. aku kan ngak sa-

"Ngga sakit dari mana? Kanker otak, kamu bilang bukan penyakit! Kenapa kamu ngak cerita sama Bunda!"

Kali ini Bunda memotong perkataan sang putri, sabil menahan tangis begitu juga dengan Gina.
Jihan hanya diam tampa jawaban

"Jawab Jihan, kenapa kamu rahasia kan!"

Gina sedikit berteriak, geram karena sang adik tak kunjung membuka suara.

"Sudah.. biarkan Jihan istirahat dulu"

Abi menenangkan agar kemarahan dan kesedihan Gina tidak meluap.

Suasana tak bisa di bilang hening, sira sisakan tangis yang keluar dari mulut Gina. Sedangkan Bunda dan Abi mereka berusaha untuk tidak menitikan air mata.

"Karena Jihan ngak mau air mata kakak dan Bunda jatuh"

Jihan membuka suara

"Jihan ngak mau hal ini terjadi lagi. Cukup hari ini aja air mata kakak dan Bunda jatuh karena Jihan. Apapun yang terjadi jangan ada lagi air mata"

"Kakak harus janji sama Jihan, Bunda dan Abi juga harus janji, harus tersenyum"

Ucap Jihan sambil tersenyun, meyakinkan orang tuanya dan kakaknya bahwa Ia akan baik-baik saja.
Gina memeluk adiknya erat, mengagumkan kepalanya pelan dalam pelukan. Tidak terlalu lama, setelah pelukan terlepas Gina dengan cepat menghapus air matanya dan tersenyum tulus.

..
..
..

 Hari sudah berganti, Jihan sudah kembali ke rumah, senyum di wajahnya tak pernah lepas.
sepanjang hari Jihan terus menjaili kakaknya, sampai-sampai Gina menjerit geram dan membuat suasan rumah menjadi riuh.
Keras tidak puas menjaili kakaknya, aksinya berlanjut hingga sampai pada makan malam.

"Jiha... berhenti menatapku seperti itu!"

Teriak Gina yang tak nyaman terus ditatap oleh Jihan.

"Sudahlah kak.. ngaku aja.. siapa nama asli dari kontak "my love" di handphone kakak itu..?"

Jihan memainkan alisnya sedikit tersenyum menggoda Gina, sedangkan Gina hanya menahan malu dengan wajah yang memerah karena ulah adiknya terjail.
Kedua orang tua mereka hanya menggelengkan kepala, karena sudah amat sangat biasa dengan tingkah kedua putrinya.

"A-apa yang kau bicarakan? jangan menggurau Jiha!"

"boleh aku tebak.. pasi.. kak Alfin"

"Ha.. dari mana kau tau.. ups."

"Aa.. Jadi benar.. wah.. calon kakak iparku ganteng banget!"

Jihan kegirangan sendiri mendengar jawaban kakaknya yang lolos dari mulutnya tampa sengaja.

"Jihan!"

Jerit Gina geram yang melihat tingkah adiknya.

"Em.. Abi.. Bunda.. liburan kali ini kita ke vila yang di sabang ya.. sudah lama kan kita ngak kesana."

Seolah mengabaikan kakaknya yang menjerit geram, Jihan malah mengalihkan pembicaraan, Bundanya mengaguk setuju begitu juga Abi. Sedangkan Gina merengut sebal.

..
..
..

  Hari liburanpun tiba, Jihan menari senang saat sampai di vila. Dengan semangat Jiha langsung berlari ke taman belakang vila yang banyak terdapat bunga-bunga indah.
Tidak menghiraukan panggilan kakaknya, Jihan terus berlari menuju taman.

"Wah.. indahnya..."

Jihan menutup matanya, menikmati terpaan angin yang membelai wajahnya dengan aroma harum dari bunga-bunga yang mekar.
Jihan melanjutkan langkahnya menuju danau buatan yang dekat dengan sebuah pohon besar. Tergoda dengan air danau, Jihan merendam kakinya, rasa geli menerpa kakinya karena ulah ikan-ikan kecil di dalam danau.
Tidak menyadari kedatangan kakaknya, Gina langsung ikut merendamkan kaki di air danau.

"Aa.. kakak.. sejak kapan ada di sini?"

Jihan yang baru menyadari kedatangan kakaknya saat melihat kaki lain yang masuk kedalam air dekat dengan kakinya.

"Baru aja.. perasaan ikan di danau ini ngak besar-besar!

"Kak.. ukuran ikannya memang hanya segini, jadi ngak bakalan besar."

Tawa keduanya terdengar hangat, di selingi kejailan yang berasal dari Jihan. Hingga terjadi aksi kejar-kejaran kecil dari keduanya.

 Merasa lelah, keduanya memilih duduk di bawah pohon besar yang ada di dekat danau.

"Kak.. jika nanti Jihan jauh, tempat ini akan menjadi tempat yang paling Jihan rindukan."

"Kau bicara apa sih..?"

Gina mulai risih dengan perkataan Jihan

"Setelah rumah dan sekolah pastinya.. hehehe.."

Gina memandangi wajah Jihan kalut. Namun senyum di wajah Jiha menenangkan hatinya. Dengan menghela nafas pelan, berusaha menghilangkan kegelisahannya.

"Kau tau Jiha, kalau nanti itu benar-benar terjadi, pasti aku sangat kesepian."

"Hahaha.. bukanya bagus, kakak jadi lebih tenang untuk belajar."

"Iya sih... tapi pasti sangat membosankan, tidak ada lagi suara langkah diam-diam mu memasuki kamar ku dan mengagetiku, hah... pasti aku akan sangat merindukan hal itu."

Menyadari air matanya jatuh, dengan cepat Gina menghapus air matanya dan menutupinya dengan senyuman.

"Gina... Jihan... ayo masuk, sampai kapan kalian di situ, sudah sore cepatlah.."

Bunda memanggil agak kesal, karena sejak sampai putrinya tidak ada yang membantu untuk beres-beres dan menyiapkan makan malam.
Kedua putri yang di panggil, segera beranjak dari tempat yang mereka duduki. Menghampiri Bunda mereka yang terlihat berdiri di pintu belakang Vila yang berkaca besar.
Sampai di dalam vila, keduanya langsung masuk ke dalam kamar masing-masing untuk membersihkan diri, setelah selesai barulah keduanya akan makan malam bersama kedua orang tuanya.

"Jadi besok kita mau kemana?"

Abi membuka suara, menanyakan rencana besok pada kedua putrinya.
Gina dan Jihan saling bertatapan, tersenyum dan..

"Pantai!.."

Keduanya berteriak semangat.

"Oh.. baiklah.. besok kita berangkat."

"Yey..."

Makan malam berlanjut, suasana hangat amat terasa, setidaknya mereka melupakan dilema selama liburan tiga hari ini.
Pagi yang di nantikan tiba, cuaca sangat cerah, mendukung rencana keluarga kecil ini untuk pergi ke pantai. 

Di hari terakhir libura, keluarga kecil ini memutuskan untu pergi makan malam di sebuah kafe baru yang ada di kata Sabang. Pagi harinya mereka berkemas untuk kembali ke rumah.

..
..

  Suasan di kediaman yang sudah di tinggalkan selam tiga hari, di hangtkan dengan berkumpul di ruang keluarga yang nyaman.
Dua putri istimewa  di hampit oleh kedua orang tua mereka, sambil menonton acara yang tayang di Tv di lengkapi dengan cemilan lezat buatan Bunda.

Tidak terasa malam telah larut, mata yang kantuk tidak bisa ditolak.

"Jihan sayang Bunda"

Bisik Jihan di telinga Bundanya. Jihan pun beralih pada Abi dan Kakaknya dengan bisikan yang sama. Setelah itu Jihan langsung pergi menuju kamarnya.

Sebelum membaringkan diri di ranjang empuknya, Jihan menyempatkan diri untuk menulis di meja belajarnya, entah apa yang Dia tulis, setelah selesai di biarkanya begitu saja di meja belajarnya, dan beralih membaringkan diri di ranjang empuknya.

..
..
..

  Sudah hampir jam 08:30 pagi, Jihan tidak juga turun dari kamar, hal ini membuat kakak serta orang tuanya khawatir.

"Gina, panggil Jihan, tidak biasanya Dia bangun siang"

"Ya, Bunda"

Dengan langkah terburu-buru, Gina menaiki tangga untuk dapat sampai pada kamar Jihan. Entah kenapa perasaannya jadi tidak enak.

"Jiha... bangun.. Jiha..."

Gina memanggil dari luar pintu, namun tak ada jawaban dari yang punya kamar. Membuat perasaan Gina tambah tidak enak. Tidak lagi menunggu, Gina membuka pintu kamar Jihan dan melihat Jihan masih tidur.

"Jihan.. bangun.."

Deeg...

Gina merasakan jantungnya seperti terhempas begitu saja, ketika menyentuh tubuh adiknya yang terasa dingin.

"Jiha... jiha... buka mata mu...jiha.. tidak jiha.. bangun buka matamu..."

Gina mengguncang tubuh Jihan pelan, mengabaikan tubuh adiknya yang dingin, tampa di komando air matanya jatuh begitu saja, berharap apa yang terjadi hanyalah sebuah mimpi.

"Tidak... Jiha.. jangan bercanda.. bangun jiha.. bangun... JIHAAAAA...!

Gina berteriak keras berserta tangis yang mulai keluar dari bibirnya.

Mendengar teriakan keras Gina, kedua orang tua yang sedanga menunggu di meja makan langsung berlari memasuki kamar putri bungsu mereka.

"Bunda.. jiha..jiha.. Tidak mau bangun Bunda.. bangunkan jiha..hikss..."

"Jihan..."

Ucapan Bunda terhenti saat merasakan tubuh anaknya yang dingin. Air mata tak lagi dapat di bendung, hanya sebuah isakan tangis yang terdengar.
Abi mencoba untuk mendeteksi denyut nadi putrinya, namun tak dapat dia rasakan, hanya dingin.

"TIDAK... JIHA.. BANGUN... ADIKU HANYA TIDUR, DIA AKAN BANGUN ABI.. BUNDA DIA AKAN BANGUN.."

Gina menjerit pilu dan Abinya memeluknya erat, mencoba meredakan jeritan anaknya.
Bundanya pun tak kalah eratnya memeluk tubuh Jihan yang semakin dingin, air mata ketiganya tak henti-hentinya mengalir.

..
..

 Sore ini, jenazah Jihan di makamkan. Perasaan kehilangan tidak hanya dirasakan oleh keluarganya saja, tapi juga sahabat, guru, dan para tetangga. Suasana pemakaman begitu pilu, bahkan langit ikut menangis dengan rintik-rintik hujan.

Lima jam sudah berlalu dari saat pemakaman Jihan sore tadi. Gina yang masih tidak bisa menghilangkan kerinduannya pada sangka adik, memutuskan untuk masuk kedalam kamar Jihan.
Langkah pelan Gina menelusuri setiap sudut kamar adiknya rehenti di meja belajar Jihan. Gina melihat sebuah kertas penuh dengan tulisan Jihan, Ginapun duduk dan mulai membaca kata demi kata yang ditulis adiknya.


'Jihan sayang Bunda
Jihan sayang Abi
Jihan sayang Kakak
Rasa sayang Jihan tidak akan pernah habis, walau nanti terkubur oleh tahan.

Maaf, Jihan berbohong selama ini.
Jihan tidak bermaksud membohongi kalian semua.
Jihan cuma ngak mau Abi, Bunda dan Kakak khawatir.
Maafkan Jihan.

Bunda.. Jihan pasti sangat merindukan cemilan manis buatan Bunda. Pasti nanti cemilan itu tidak ada yang menghabiskanya, jadi jangan buat banyak-banyak.

Abi.. Jihan pasti sangat rindu merayu Abi membelikan boneka, padahalkan boneka Jihan banyak, siapa lagi dong.. menghabiskan uang Abi? Pasti kak Gina.

Kak Gina, menjahili kakak itu hobby ku loh.. Pasti sekarang kakak bisa tenang, karena tidak ada lagi yang jahil. Hahahaha... Pasti tidak ada lagi jeritan kakak yang besar. Aku pasti merindukan itu.

Tapi, berjanjilah pada jihan, jangan ada lagi air mata, berjanjilah akan tetap bahagia, karena jika kalian bahagia jihan juga akan bahagia dan tidak kesepian.
Karena jihan sayang kalian

Peluk cium sayang,

Najihan Hanija
Sayonara.'


 Kembali air mata membasahai pipi Gina setelah membaca surat Jihan, tangisan pilu kembali terdengar bersamaan dengan hujan yang turun malam ini.

..
..
..

 Satu bulan sudah berlalu, memenuhi permintaan sang adik, suasana rumah tidak lagi berkabung. Seakan sudah terbiasa, tapi kebiasaan yang sering dilakukan tidak sepenuhnya hilang dan di lupakan begitu saja.

Gina sedang fokus pada buku-buku yang memenuhi meja belajarnya, suasana kamar yang hening membuatnya mampu mendengar suara kecil sekalipun.
Suara langkah diam-diam dari seseorang yang memasuki kamarnya dan akan segera mengejutkannya itu, sudah sangat Ia hapal. 

"Jiha berhenti me-"

Ucapan Gina terhenti saat Dia berbalik mendapati tak ada orang yang masuk kedalam kamarnya, bahkan pintu kamarnya saja tertutup rapat. Dan dengan mudah air mata kembali mengalir dipipinya, menguraikan perasaan rindu akan kehadiran sang adik.

"Kau tau Jiha, langkah mu itu adalah salah satu bagian dari dirimu yang tak bisa kakak lupakan bahkan sangat kakak rindukan"

Ucap Gina sambil memandangi figura foto Jihan dan beralih memandang ke luar jendela dengan langit dipenuhi oleh bintang.


The End


oke guys kali ini aku akalan kasi lagi cerita yang mana cerita ini di tuliskan oleh teman ku



Comments