INDIGO Bab 3: Jam Mahari (bagian II)



  Tenang dan damai. Itulah yang sekarang ku nikmati. Duduk di bawah pohon rindang beralaskan rumput berhadapan dengan sebuah kolam ikan. Jika kalian bertanya saat ini aku ada di mana? Jawabannya adalah di taman belaian sekolah. Hari masih pagi saat ini, mungkin sekitar jam sembilan. Kenapa aku di sini? Seharusnya aku di kelas bukan?. Terlalu malas untukku berada di kelas, karena memang tidak ada guru yang mengajar.
"Raaaiii....."
Oke, hilang sudah semua ketenangan dan kedaian. Tampa melihat siapa orang yang meneriaki namaku, aku sudah tau jika itu adalah suara Dafit.
"Rai.. loe ngak adil, kenapa ngak ngajak-ngajak kalo mau kesini. Dari tadi kami nyariin tau!" kata Dafit sambil mengambil posisi duduk di sampingku.

  Sekarang semua sahabatku duduk di bawah pohon yang sama dengan ku. Ini memang tempat favorit kami, jadi wajar saja jika mereka semua ada di sini sekarang. Kami duduk dengan bentuk lingkaran kecil, di kanan dan kiriku ada Dafit dan Alfin, sedangkan di hadapanku ada Gea, dan di kanan dan kirinya Lusi dan Citra. Sesekali kami bercanda sambil membahas sesuatu yang tidak penting dan itu berawal dari gosip hangatnya Dafit.
Untuk sementara detik suasan kami hening.
"Aku ingin berhenti." gumang Gea pelan tapi masih bisa kami dengan dengan jelas.
"Apa maksudmu Gea?"ucap kami hampir serentak.
"Aku ingin berhenti mengurusi dunia yang bukan duniaku, aku lelah, aku ingin berhenti dan menepati janjjku"
Dapat ku dengar suara Gea yang bergetar seperti menahan tangis dan benar saja Gea kini menangis.
"Sebenarnya ada apa Gea?" tanya Citra
Dan bukannya menjawab Gea malah semakin menangis. Aku dan sahabatku yang lain jadi bingung, kami tidak pernah melihat Gea menangis seperti ini sebelumnya.

 10 menit sudah berlalu, Gea sudah bisa tenang dan berhenti menangis walau masih ada isakan kecil yang terdengar.
"Jadi.. sebenarnya ada masalah apa?" tanyaku
"Benar Gea, ceritakan ada masalah apa?" tambah Alfin.
"Kalian ini.. bisa kan nunggu Gea tenang dulu!" kata citra keras.
"Kau ini Cit.. bisa kan ngak pakek teriak" ucap Dafit sinis.
"Sudahlah.. kenapa kalian bertengkar" relai Lusi menenangkan
"Nah.. bener tu.. kata Lusi, kenapa kalian bertengkar?" kata Alfin mempertanyakan. Dan jika kalian dapat melihat suasana saat ini sungguh sangat tegang.
"Kalian ini sudah lah.. aku tak apa." kata Gea merelaikan
"Ceritakan!" Ucap kami serentak. Hal itu sepertinya membuatnya sedikit terkejut.
"Aku... sudah berjanji pada Maya, jika Dia pergi kemah maka aku harus berhenti berurusan dengan Jin atau Arwah terserah apa namanya itu, yang jelas perjanjian di antara aku dan Maya tak bisa ku batalkan, karena..." kata Gea mulai bercerita. Kami diam mendengarkan dengan baik.
"Karena.. karena..." kata-kata Gea mulai menggantung dan itu membuatku geram.
"Karena apa Gea?" kataku tak sabar.
"Karena jika aku ingkar maka.. Maya.. Maya.. Dia.."
"Dia kenapa? sudahlah katakan saja tak perlu ragu seperti itu!" kataku memotong perkataan Gea. Aku sudah geram mendengarkan ucapannya yang selalu diulang-ulang itu.
"Iya.. Gea.. katakan saja.tak perlu ragu" tambah Citra. Sedangkan yang lain hanya mengangukkan kepala pertanda setuju.
"Maya tidak akan pernah mau bertemu denganku atau berbicara padaku dan Dia akan memberi tau orang tuaku tentang penglihatanku... hikss.. hikss..."
"Hikss... aku tak mau itu terjadi... hikss.. hikss.." Gea kembali menangis.
"Tenanglah Gea.. kami akan mencari jalan keluarnya" ucap Lusi menenangkan Gea.
"Memangnya orang tuamu tidak tau tentang matamu itu Gea?" tanya Dafit
Gea hanya menggelengkan kepalanya pelan.
"kenapa kau tidak memberi tau orang tuamu Gea?" Tanya Citra histeris. Kurasa itu berlebihan, tapi memang itu adanya.
"Orang tuaku tidak percaya hal-hal seperti itu."
"Nah.. kalau begitu kau tak perlu khawatir karena orang tuamu tidak akan percaya" kata Alfin menyimpulkan.
"Memang tapi.. Maya adalah gadis yang rawan. Itulah yang aku khawatirkan"
"Apaa.." ucap kami sepontan.
"Kau serius?"
"Kau tidak lagi bercanda?"
"Jangan main-main dengan ucapanmu Gea!"
"Katakan kalau kau bercanda!"
"Bukannya Dia pandai membaca matahari? setauku orang yang pandai membaca matahari tidak akan pernah rawan!"
Sederet pertanyaan kami tujukan padanya. Dan Gea hanya diam dan menundukkan kepalanya dengan tangan yang meremas ujung roknya.
"Jawab Gea!" kataku keras padanya.
"Aku serius, aku tidak lagi bercanda, aku tidak main-main dengan ucapanku, aku tidak bercanda. Dia memang pandai membaca matahari tapi karena itu Dia jadi rawan." kata Gea menjawab semua pertanyaan kami.
"Bagaimana bisa?" tanyaku bingung.
"Jam Matahari itu membawanya terjun ke tempat-tempat yang aku sendiri tak berani mendatanginya jika sendirian. Karena hal itu Dia jadi sering di ikuti dan kalau yang mengikutinya berhenti maka salah satu bagian tubuhnya akan sakit. Jika sudah seperti itu Maya selalu datang padaku dan bertanya apa penyebanya Dia diikuti. Kalau sampai Maya benar-benar tak ingin bertemu denganku, entah apa jadinya nanti" jelas Gea panjang lebar.
"Hah... kenapa bisa seperti itu?" Ucap Citra bingung.
"Tapi.. wajar.. untuk gadis yang rawan seperti dia" tambahnya lagi.
Aku hanya diam menanggapi semua penjelasan Gea, begitu juga dengan Alfin, Dafit, Lusi dan Citra akhirnya pun hanya diam.
"Jadi.. Gea apakah kau benar ingin berhenti?" tanya Alfin
"Pernah aku berfikir untuk berhenti. Tapi tidak sekarang." jawab Gea pelan
"Begini saja, loe bilang sama Maya kalok loe udah berhenti tapi loe jadi peran di balik layar gimana?" usul Dafit
"Tidak bisa" bantah Gea
"Kenapa? Dia juga tidak akan tau" kata Lusi pempertanyakan.
"Dia tau, karena setiap alat yang kalian pegang ada penyadap suaranya"
"Appaaa" oke sudah kedua kalinya seperti ini.

Drrett..drrett..drreet...

Aku ambil ponselku dan melihat siapa yang mengirimkan pesan.
"Ini dari Maya."
"Apa pesannya?" Tanya Dafit

"Bayangan melengkung secara teratur, pusat tetap dan derajat masing-masing arah normal. Cahaya lengkung berdetar menghapus hilir barat dan utara." Aku sedikit bingung membaca pesannya, entah apa maksudnya kali ini.
"Aku juga dapat"
"Iya.. Aku juga"
"Wah.. semua pesan yang kita terima sama, tapi apa maksudnya?" tanya Dafit.
Kami mengarahkan pandangan kami pada Gea.
"keadaan baik, tidak ada yang kesurupan, walau ada yang pingsan tapi bukan anak dari sekolah kita." kata Gea manjelaskan.
"Oo.. syukurlah.." gumang Lusi dan Citra.
"hem.. sekarang.. Aku harus berhenti..ku harap kalian tetap semangat" ucap Gea.
"Ya.. mau bagaimana lagi..SEMANGAT!!" teriak Dafit keras.
"Balik yuk.. bentar lagi bel pulang ni.." celetuk Citra.
"Aa.. ngak terasa.. udaah... yuk balik" tambah Lusi.
Kamipun berjalan ber-iringan kembali menuju kelas dan pulang.

 Dua hari sudah berlalu, sejak keputusan Gea. Kami hanya bertualang berlima saja sekarang. Dan Maya pun sudah kembali dari kemahnya. walaupun hanya berlima, kami tetaplah enam sahabat.

                   The End

eist.. akhir bab ini.. bukan akhir cerita. Cerita ini akan berlanjut pada bab selanjutnya.
Akhir kata..
Raian.. 
Sampai jumpa.


baca juga bab 2 nya

Comments